Pages

Tuesday, April 9, 2013

Budaya Tajen Di Pulau Dewata

      Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, perjudian sabung ayam sudah dikenal dan cukup digemari sebagian masyarakat di beberapa daerah. Di Bali perjudian sabung ayam dikenal dengan istilah Tajen, yang berasal dari kata taji yang artinya benda tajam dan telah berkembang cukup mengakar di dalam kehidupan masyarakat Bali. Pada awalnya “Tajen” merupakan bagian dari acara ritual keagamaan tabuh rah atau prang sata dalam masyarakat Hindu Bali. Yang mana tabuh rah ini mempersyaratkan adanya darah yang menetes sebagai simbol / syarat menyucikan umat manusia dari ketamakan/ keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh rah juga bermakna sebagai upacara ritual buta yadnya yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya.
Sejalan dengan dinamika kehidupan sosial masyarakat Bali, telah terjadi pergeseran makna ritual dan bagian tabuh rah, yang mana makna tabuh rah atau prang sata telah dimanipulasi dan diterminologikan sebagai Tajen. Padahal bila dikaji, tabuh rah dan tajen merupakan suatu pengertian yang berbeda, namun pada kenyataannya tabuh rah dipakai tameng untuk menyelenggarakan tajen.

      Ironisnya tajen ternyata mampu berperan sebagai medium interaksi dan komunikasi lintas strata sosial. Latar belakang status sosial menjadi cair dan kabur, masyarakat membaur dan melebur secara fisik dan emosional, semua pihak terfokus pada pertarungan kedua ayam adu. Bahkan tajen oleh masyarakat juga sudah dipandang sebagai salah satu bentuk hiburan dan permainan utnuk menghilangkan kejemuan dan kelelahan fisik setelah melakukan kegiatan berat.




       Pada dekade belakangan ini posisi dan peran tajen semakin mengemuka dan seolah-olah mendapat legitimasi dari berbagai kalangan masyarakat. Beberapa oknum masyarakat beragurmentasi bahwa tajen yang digelar semata-mata ditujukan untuk kepentingan pembangunan atau pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat adat. Dari perspektif antropologi hukum fenomena sosial ini merupakan proses dekriminalisasi tajen sebagai perjudian. Meskipun ditinjau dari sudut agama khususnya agama Hindu, didalam kitab suci Wedha tidak ada satu ayatpun yang membenarkan adanya berbagai bentuk dan jenis kegiatan perjudian.
 

No comments:

Post a Comment